Archive for May, 2008

Jurus Jitu Buat Randori

May 30, 2008

randori?!!
yg kudu di-inget
di Kempo ini bkn lah ‘endurence’ ny
yg ditonjolkan (gak ad ronde2an)

so..
‘speed’ is powerful
kesempatan sekecil apa pun
kudu dimanfaatkan semaksimal mgkn

tambahan..
sistem saat ini
dmn ‘Randori Beregu’ dah dihapus
memaksa utk tdk hny bs nyerang
tp bertahan jg mutlak

bs nyetak 1 wazari
tp kebobolan 2 wazari
jg kan gak lutchu..

Posted by Anonymous Coward at Forum FS Indonesia Shorinji Kempo

Tips Buat Naikin Bobot Serang Geri dan Chuki

May 30, 2008


klo menurut buku fisika sih
yang mempengaruhi benturan(ato bahasa fisikanya disebut momentum) itu dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu massa dan kecepatan, sesuai rumus momentum: M = m x v (klo ga salah ada di buku fisika SMA kelas 2)

jadi yaa gimana pun caranya, yang perlu diperhatikan dalam memaksimalkan potensi benturan pukulan dan tendangan ya ga lain, berat tubuh dan kecepatan.

klo masalah memaksimalkan berat tubuh
ya satu2nya cara menggunakan semua gerakan tubuh untuk menyerang, misalnya klo nendang, yang dipake bukan cuma massa kaki tapi juga massa pinggul, dengan gitu penggunaan massa tubuh bisa maksimal. klo mukul ya sama aja gitu juga

yang satunya lagi masalah kecepatan
meraih kecepatan maksimal tentunya hanya biasa diraih dng kondisi fisik yang prima caranya ya lari, skot jump, push up,dll. tapi selain itu perlu diperhatikan bentuk dari tendangan, karena menendang bukan hanya menempel kan kaki ke sasaran, tapi menggabungkan kecepatan pinggul, paha, ama engsel kaki dan ketika kaki mendarat ke sasaran, semua kecepatan pinggul, paha, ma engsel kaki harus mencapai kecepaatan yang maksimal. intinya mendapatkan kecepatan yang maksimal ketika tendangan mendarat ke sasaran dengan menggabungkan 3 kecepatan tersebut.klo mukul ya sama aja gitu juga

mendapatkan bentuk tendangan yang sempuran kayak gitu emang palin sulit, but practice make perfect… right!?

Posted By -Herr Dimas- at Forum FS Indonesia Shorinji Kempo

Pressure Points

May 30, 2008


Titik kelemahan jg dikenal dgn ‘Pressure Point’. Mengapa disebut demikian krn ada kaitan nya dgn penggunaan titik2 tsb utk tujuan pengobatan/penyembuhan.

Sampai dgn tingkatan Dan II, titik kelemahan identik dgn latihan utk melemahkan/melumpuhkan. Hal ini krn sebagian besar diajarkan dlm area GOHO maupun JUHO.

Next on Advanced..
Titik kelemahan jg mulai diajarkan pd area SEIHO. Ini akan lebih menarik lagi,
krn penggunaan ny yg luas; mulai dr menyeimbangkan diri sendiri, sampai pd kegiatan pengobatan/pemulihan/penyembuhan suatu cedera.

Satu catatan.. menyentuh titik kelemahan utk melumpuhkan lawan, sama sekali tdk efektif jk unsur2 ‘Atemi Nogoyosho’ nya tdk terpenuhi.

Pun.. kpn saat yg tepat utk menyerang perlu diperhatikan, serang lah lawan Anda ketika ia sedang mengeluarkan/melepaskan nafas nya.

Posted By Anonymous Coward at Forum FS Indonesia Shorinji Kempo

Perkembangan Shorinji Kempo di Indonesia

May 29, 2008


Sejak akhir tahun 1959, pemerintah Jepang menerima mahasiwa dan pemuda Indonesia untuk belajar dan latihan sebagai salah satu bentuk pembayaran pampasan perang. Sejak itu secara bergelombang dari tahun ke tahun sampai tahun 1965, ratusan mahasiswa dan pemuda Indonesia mendapat kesempatan belajar di Jepang. Tidak sedikit di antara mereka itu memanfaatkan waktu senggang dan liburannya untuk belajar serta memperdalam seni beladiri seperti Karate, Judo, Ju Jit Su dan juga Kempo.

Sepulangnya di tanah air, mereka bukan saja menggondol ijazah sesuai dengan bidang studinya tetapi juga memperoleh tambahan berupa penguasaan seni bela diri seperti tersebut di atas.

Pada tahun 1964, dalam suatu acara kesenian yang dipertunjukkan mahasiswa Indonesia untuk menyambut tamu-tamu dari tanah airnya, seorang pemuda yang bernama UTIN SAHRAS mendemonstrasikan kebolehannya bermain Kempo. Ia datang di Jepang pada tahun 1960 dan tinggal di Tokyo sebagai Trainee Pampasan.

Apa yang didemonstrasikannya itu menarik minat pemuda dan mahasiswa Indonesia lainnya, diantaranya Indra Kartasasmita dan Ginanjar Kartasasmita serta beberapa orang lainnya. Mereka lalu datang ke pusat Shorinji Kempo di kota Tadotsu untuk menimba langsung seni bela diri itu dari Sihangnya.

Untuk meneruskan warisan seni bela diri itu seperti apa yang mereka peroleh di Jepang, ketiga pemuda itu, yaitu Utin Sahras (almarhum), Indra Kartasasmita dan Ginanjar Kartasasmita, bertekad melahirkan dan membentuk suatu wadah yang bernama PERKEMI (Persaudaraan Bela Diri Kempo Indonesia), dan resmi dibentuk pada tanggal 2 Februari 1966. Kini PERKEMI telah melahirkan ribuan kenshi yang tersebar diseluruh Indonesia.

Selain itu merupakan salah satu organisasi induk yang bernaung di bawah KONI Pusat, PERKEMI juga menjadi anggota penuh dari Federasi Kempo se-Dunia atau WOSKO (World Shorinji Kempo Organization), yang berpusat di kuil Shorinji Kempo di kota Tadotsu, Jepang.

Sejak tahun 1966 sampai tahun 1976, PB. PERKEMI mengadakan pemilihan pengurus setiap dua tahun sekali. Tapi sejak tahun 1976 sampai sekarang masa bakti pengurus berlangsung selama empat tahun.

Sejak didirikannya pada tanggal 2 Februari 1996, PB. PERKEMI telah banyak melakukan kegiatan yang sifatnya lokal, nasional dan internasional. Tahun 1970 telah diselenggarakan Kejauraan Nasional Kempo yang pertama di Jakarta, dan sampai sekarang masih terus berlanjut. Begitu juga dengan Kejuaraan antar Perguruan Tinggi, dimana diadakan pertama kalinya pada tahun 1971 yang sampai sekarang berjalan terus setiap dua tahun sekali.

Selain itu sejak PON IX / 1977 di Jakarta, Kempo termasuk salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan.

Blog Kempo Amikom Yogya

Techniques

May 29, 2008

Shorinji Kempo is a martial art which encompasses many different aspects. The physical techniques associated with the art can be expressed by the following terms. All of these will be found in a typical session.

Goho Techniques
Goho is the hard system of Shorinji Kempo. On the simplest level this means learning how to punch, kick and block. Perhaps in a more accurate description one learns that the term goho relates to techniques in which one is in contact with the aggressor for a relatively short amount of time. It is generally thought of as the opposite of juho (described below).
This is, however, misleading until we discover what is actually meant by hard system. The easiest description involves us saying that goho techniques are generally performed as a defence against a strike, with the counter attack also being of the same nature.
In such a case the attack is usually deflected with a block and a counter strike delivered. Most blocks in Shorinji Kempo are designed to deflect the attack in such a way so that the attacker loses balance. This allows time for an effective counter strike to be made to a vital (or weak) point on the body.

Juho Techniques
Again rather misleadingly juho techniques are associated with the softer side of Shorinji Kempo. However, juho can be characterised with an increase in the length of time in which you are in contact with the aggressor. Juho techniques usually start with a grab of some description.
The idea is then to either escape the grab, pin the opponent or throw them (also usually ends in a pin). Which ever the appropriate response, you will see similar principles throughout most of the syllabus, with maybe six paradigm techniques.
At advanced levels the distinction between goho and juho becomes blurred and one does not exist without the other. That is to say that elements of both goho and juho can be found in all techniques.

Randori
Randori is the name given to sparring, though the idea is much more than simply sparring. It literally means to catch the random; or rather, to bring a random situation under control. In Shorinji Kempo we do not simply ask you to spar, rather we perform a series of exercises that help build up the skills. For instance a beginner wouldn’t learn a lot if they were simply asked to spar a black belt.

Embu

Embu is the name given to a series of five or six choreographed sequences of Shorinji Kempo techniques, performed by two (or more) students. An embu will last between 1.5 and 2 minutes. Due to the pre-prescribed nature of the sequences, embu is often thought as the opposite of randori. Embu is unique to Shorinji Kempo and is the epitome of the art when performed well. A good embu should tell a story, be technically perfect, flow well and look convincing; they are often used for display purposes. Embu represents the students level in understanding the principle of Ken Zen Ichinyo. They are also a fantastic way to build a friendship and trust with your partner.

Seiho

Vital/weak/nerve points on the body can not only be used for self defence purposes, but also, if appropriate force is used in the right direction, for healing purposes. Seiho is analogous to shiatsu massage. It also contains exercises for joint relocation.

Kata
Many martial arts have set sequences of moves, called kata. Shorinji Kempo is no different. However you will not find any mysterious moves or moves that only the senior grades know what they are for. Every kata is straight forward and many have pair form versions, which you are unlikely to find elsewhere.

Source: UWE Shorinji Kempo Club

Message From Shorinji Kempo

May 29, 2008

Do you ever pause to know your real self better?

SHORINJI KEMPO works to create opportunities for members to stop and reflect upon themselves. This is very important in today’s fast changing world. We hope our dojo provide such an intellectual oasis.

But, self reflection is not all we encourage.

Because, for all the 168 hours they live each week, SHORINJI KEMPO kenshi only spend four to six hours at their dojo. So we want them to create their own moments of opportunity to examine themselves during the remaining160 hours.

We want them to discover a new self in the serenely invigorating atmosphere of a dojo. During their short time there, we want them to feel growth in exchanges with their fellow kenshi and gain confidence in their ability to change.

The few hours one spends at a dojo only triggers change. But won’t it be wonderful to build on the self-confidence gained there and begin to live life as it should be lived?

SHORINJI KEMPO celebrates the potential of every individual. We know that individual growth makes for a richer life.

Source: Shorinji Kempo’s Official Website

Sejarah dan Falsafah Kempo

May 28, 2008

“Kasih Sayang Tanpa Kekuatan Adalah Kelemahan
Kekuatan Tanpa Kasih Sayang Adalah Kezaliman”
(Doktrin Shorinji Kempo)

Sekilas orang berkesimpulan bahwa bela diri Kempo berasal dari daratan China. Anggapan ini tidaklah semuanya benar. Kira-kira tahun 550 SM, pendeta Buddha yang ke-28, iaitu Dharma Taishi, pindah dari tempat tinggalnya di Baramon, India ke daratan China. Beliau menetap di sebuah kuil yang bernama Siau Liem Sie atau dikenali dengan nama Shorinji yang terletak di pripinsi Kwa – Nam. Dalam perjalanannya dan pengembaraannya Dharma Taishi menyebarkan ajaran agama Budha. Tidak sedikit tantangan, ancaman dan hinaan yang dialaminya, bahkan nyaris merenggut jiwanya. Dari pengalaman-pengalaman timbulah anggapan dalam dirinya bahwa seorang calon Bikshu sebaiknya juga melatih ketahanan jasmaninya, disamping membersihkan rohaninya untuk mencapai nirwana setelah bersemedi. Dalam ajaran agama Budha, dikatakan bahwa hidup itu berasal dari “kosong” atau “tiada”. Namun oleh Dharma Taishi dilengkapinya, bahwa tiada gunanya menjadi “kosong” atau “tiada” atau “suci” jika tidak bisa membela sesama manusia yang ditimpa kemalangan. Selama di India, Dharma Taishi pernah belajar indo Kempo (silat India), karena banyaknya tantangan yang dihadapi dalam pengembaraannya di Cina maka ia mempelajari pula berbagai aliran silat China Kuno. Selama bertapa 9 tahun ia bertekad menyusun ilmu mempertahankan diri dan dimaksukkan sebagai syarat dan mata pelajaran bagi calon pendeta Budha. Sejak itu ilmu beladiri yang ditemukannya telah menjadi sebagian pendidikan keagamaan pada Zen Budhisme. Dharma tetap beranggapan bahwa semua pengikutnya haruslah berfisik kuat guna melanjutkan usaha menyebarluaskan ajaran agama Budha yang cukup berat itu. Dalam ceritera klasik Cina, sering dijumpai nama Tatmo Cowsu. Nama ini tidak lain yang dimaksud adalah Dharma Taishi sendiri, yang mencipatakan seni beladiri Shorinji Kempo atau Siauw Liem Sie Kung Fu.

Falsafah Kempo
Karena seni bela diri kempo waktu itu menjadi sebagian dari latihan bagi para calon Bikshu, dengan sendirinya ilmu itu harus mempunyai dasar falsafah yang kuat. Dengan dilandasi agama Budha, yaitu membunuh dan menyakiti, maka semua KENSHI (pemain Kempo) dilarang menyerang terlebih dahulu sebelum diserang. Hal ini menjadi doktrin Kempo, bahwa “perangilah dirimu sendiri seblum memerangi orang lain”. Berdasarkan doktrin ini mempengaruhi pula susunan beladiri ini, sehingga gerakan teknik selalu dimulai dengan mengelak/menangkis serangan dahulu, baru kemudian membalas. Selanjutnya disesuaikan menurut kebutuhan yakni menurut keadaan serangan lawan. Dharma selalu mengajarkan bahwa disamping dilarang menyerang juga tidak selalu setiap serangan dibalas dengan kekerasan. Sehingga dalam ilmu Kempo itu lahirlah apa yang berbentuk mengelak saja. Cukup menekukkan bagian-bagian badan lawan, kemudian mengunci dan bila terpaksa barulah dilakukan penghancuran titik-titik lemah lawan, berupa tendangan, sikutan, pukulan dan sebagainya. Bentuk yang pertama dikenal sebagai JUHO dan yang berikutnya sebagai GOHO. Setiap kenshi diharuskan menguasai teknik GOHO (keras) dan JUHO (lunak), artinya tidak dibenarkan apabila hanya mementingkan pukulan dan tendangan saja dengan melupakan bantingan dan lipatan-lipatan.

Perang Boxer
Shorinji kempo sendiri mengalami perkembangan pesat di daratan Cina. Pengikutnya semakin banyak dan pengaruhnya semakin besar dalam masyarakat Cina. Di tahun 1900 – 1901, di Cina meletus perlawanan rakyat menentang masuknya Kolonialisme Barat. Pemberontakan di awal abad ke 20 itu akhirnya menjadi gerakan nasional yang disokong Ratu Tze Shi, yang juga ingin membersihkan tanah airnya dari penjajahan Barat. Kolonalisme Barat akhirnya dapat mematahkan perlawanan rakyat Cina dengan menggunakan peralatan perang mutakhir. Sementara rakyat Cina kebanyakan hanya melawan dengna mengandalkan tangan dan kaki saja. perang yang menelan jutaan korban itu terkenal dengan sebutan “Perang Boxer”. Penjajah mengejar dan membunuh pengikut Dharma Taishi, organisasinya dilarang, kuil-kuil Shorinji Kempo dirusak, dibakar dan dihancurkan. Bikshu-bikshu yang sempat meloloskan diri ke arah timur dan selatan, lalu mengajarkan aliran Shorinji Kempo kepada pedagang-pedagang dari Okinawan, Taiwan dan Muangthai. Karena tidak teroganisasinya kesatuan, maka penyebaran Shorinji Kempo mulai membentuk seni bela diri baru. Mereka melarikan diri ke Muangthai dengan hanya menguasai teknik GOHO (memukul, menendang dan menangkis) mempengaruhi perkembangan bela diri yang ada di negeri tersebut. Munculah apa disebut Thai Boxing. Ajaran Shorinji Kempo, terutama teknik GOHO, juga mempengaruhi seni bela diri yang ada di Okinawa, Jepang. Maka di Okinawa timbullah seni bela diri yang dinamakan OKINANAWATE yang kemudian dkenal dengan nama KARATE.

Mereka yang melarikan diri ke pulau-pulau Jepang lainnya dan menguasai teknik JUHO (lunak) juga mempengaruhi seni bela diri yang ada di daerah-daerah tersebut. Kemudian muncullah seni bela diri JU-JIT-SU, Ju berarti halus-lenting dan fleksibel. Disamping itu lahir pula seni bela diri AIKIDO dan JUDO. Setelah menghilang beberapa waktu lamanya, kempo mulai bangkit kembali setelah perang dunia II, aliran-aliran seni bela diri lainnya tetap bersumber dari Shorinji Kempo sebagai aliran seni beladiri yang tertua.

The History of Shorinji Kempo

May 28, 2008

Shorinji Kempo was originated in 1947 in the Japanese town of Tadotsu.

Shorinji Kempo’s founder, So Doshin, faced Japan’s defeat at the end of the Second World War in what was then called Manchuria (now the Northeast Region of China), and there he experienced fully the wretchedness and sorrow of a defeated people. In such times it was not ideology, religion, or ethics, but rather the interests of nations and peoples that took priority, and the harsh reality of international government was that it operated as if only power constituted righteousness. Amidst that experience, Kaiso saw that the way law and government worked was not determined simply by distinctions of ideology or religion, or of national policy, but that a great difference was made by the character and way of thinking of the person in the particular position of authority. What he had noticed was that “everything depends on the quality of the person.”

Later, Kaiso returned to Japan, but the aftermath of war had left Japan in turmoil, and he found that people’s spirits were in ruins. So, in order to put his beloved home country back on its feet, he resolved that he would dedicate the remainder of his life to educating youth with the spirit and the backbone that the country needed. Because it was the youth who would take care of the future, he had them train both indomitable spirits and sturdy bodies, gave them strong confidence and courage, and cultivated many true leaders who would rebuild their native Japan. To construct a world in which everyone could live in happiness, he took the Chinese and Japanese martial arts that he had studied and reformulated them into a single, unique technical structure, thus originating Shorinji Kempo.

Kaiso used the historical Buddha’s teaching of building the self and Boddhidharma’s (the founder of Zen’s) teaching of indestructible and indomitable spirit to make the foundation of Kongo Zen, and he located Shorinji Kempo within Kongo Zen as its primary discipline.

Afterwards, however, these teachings and techniques could not be contained within the boundaries of religion, and Shorinji Kempo expanded to become a Way which anyone could study so long as they desired to improve in good balance both mind and body, to mutually affirm one another’s value, and to construct society as best as possible together with comrades whom they could trust. This change was recognized within Japan and broadly around the world.

Then, the World Shorinji Kempo Organization was formed as Shorinji Kempo’ global framework, and people of truly diverse religious, cultural and ethnic backgrounds have joined the organization. Going beyond national borders and generational differences, these members seek to become people who can contribute to world peace and well being by working hard at their daily training.